Bhumi Bukan Planet, Gunung Meru Pusat Alam Semesta Semesta
Bhumi Bukan Planet, Gunung Meru Pusat Alam Semesta |
Sebelum kita melanjutkan pembahasan di video kali ini, ada baiknya semua Tukang Mikir sudah menyaksikan video-video Pikiranologi yang lain. Berikut adalah beberapa rangkuman dari video-video Pikiranologi dan Semangat Sineru yang dicetuskan oleh Pikiranologi.
Selamat Datang di Pikiranologi, Bersama Saya si Tukang Mikir.
Heliosentris vs Geosentris
Selama ini kita berpikir, Bumi adalah salah satu Planet yang ada di dalam satu Tata Surya. Pengetahuan tersebut bernama Konsep Heliosentris yang dicetuskan oleh Pythagoras yang kemudian dilanjutkan Aristarkhos dari Samos. Heliosentris merupakan suatu konsep yang mengacu pada Matahari sebagai Pusat dari Satu Keluarga Planet. Banyak orang menyebutkan konsep ini merupakan konsep baru yang lahir setelah Konsep Geosentris yang dicetuskan oleh Anaximander murid Thales yang kemudian dilanjutkan oleh Aristoteles lalu Klaudius Ptolemeus atau dikenal sebagai Ptolemy. Geosentris menyebutkan Bumi bukanlah sekedar Planet melainkan sebagai Pusat Alam Semesta.
Walaupun konsep Heliosentris populer dan mendunia sejak Nicolaus Copernicus mengembangkan teori ini pada Revolusi Ilmiah sekitar Abad ke-15 dan disebarkan ke seluruh dunia bersamaan dengan invasi Eropa, tetapi faktanya konsep Heliosentris sendiri sama tuanya dengan konsep Geosentris. Bahkan saat Aristarkhos dari Samos kembali mengembangkan Konsep Heliosentris, hal ini dikarenakan pemujaan dia pada Api. Aristarkhos mendapatkan pemikiran tersebut karena terinspirasi dari Philolaus yang merupakan salah satu murid terkenal dari Pythagoras. Pythagoras sendiri merupakan salah satu filsuf yang terkenal mencampurkan ilmu matematika dan mistik. Ia dikenal sebagai seorang penganut Pagan yang memuja Api termasuk Matahari atau yang di dalam tradisi Yunani kuno dikenal bernama Dewa Helios. Jadi pemahaman tentang Heliosentris sebenarnya merujuk ke konseptual semua benda langit tertarik dan kemudian berputar mengelilingi Matahari sebagai sumber dari Api dalam jumlah banyak yang merupakan bentuk simbol dari Dewa Helios.
Akar Kata Planet Bumi
Sekarang kita tinggalkan sejenak konsep Heliosentris vs Geosentris dan menuju definisi Planet. Kosakata Planet sebenarnya berkali-kali mengalami perubahan. Definisi tentang planet berubah-ubah sepanjang sejarah, dahulu pernah disebut sebagai bintang pengelana abadi tetapi sekarang merujuk ke suatu benda yang bisa ditinggali makhluk. Konsep ini meluas tidak hanya di Tata Surya saja, tetapi sudah mencapai ratusan Sistem Luar Surya lainnya. Ambiguitas yang terdapat dalam definisi planet telah menjadi kontroversi di kalangan ilmuwan sendiri.
Sehingga pada tahun 2006, Persatuan Astronomi Internasional (IAU) mengesahkan sebuah resolusi resmi yang mendefinisikan planet di Tata Surya. Definisi ini diterima namun juga dikritik dan masih diperdebatkan oleh sejumlah ilmuwan karena tidak mencakup benda-benda bermassa planet yang ditentukan oleh tempat atau benda orbitnya. Meski delapan benda planet yang ditemukan sebelum 1950 masih dianggap "planet" sesuai definisi modern, sejumlah benda angkasa seperti Ceres, Pallas, Juno, Vesta (masing-masing objek di sabuk asteroid Matahari), dan Pluto yang dulunya dianggap planet oleh komunitas ilmuwan kini dihapus dari daftar keluarga planet di dalam Tata Surya kita.
Hmmm lucu banget gak sih? Untuk mendefinisikan planet aja masih pada enggak sepakat tapi kenapa bisa yakin banget kalau Bumi itu sebuah Planet?
Nah sekarang kalau kita meninjau berdasarkan akar katanya, kata Bumi sendiri berasal dari kata Bhumi dalam bahasa Sansekerta dan Pali yang artinya Tanah. Apakah ‘tanah’ yang dimaksud haruslah berupa benda bulat yang mengembara terombang-ambing di Ruang Hampa Udara? Ataukah Bhumi sendiri sebenarnya hanyalah merujuk kepada sebuah ruang tempat makhluk berpijak dan tinggal?
Tinjauan Dari Ajaran Buddha dan Ajaran Veda
Memahami dua poin diatas tentang Heliosentris vs Geosentris dan definisi Planet yang baru disahkan tahun 2006, benarkah kita benar-benar yakin bahwa ilmu pengetahuan di era Modern saat ini sudah mencapai klimaksnya? Atau mungkinkah kita justru mengalami kemunduran ilmu pengetahuan?
Sebenarnya pandangan Pikiranologi sudah terlihat jelas dari sejumlah video yang dibagikan, namun sekali lagi perlu Si Tukang Mikir ingatkan bahwa di dalam dunia Pikiranologi, kita tidak seharusnya memasung segala bentuk kemungkinan. Termasuk ketika kita melihat dari kacamata dua pandangan kuno tentang Kosmologi dan Alam Semesta versi Ajaran Buddha dan Ajaran Veda.
Ajaran Buddha dan Ajaran Veda ibarat satu koin dengan dua wajah seperti halnya Dewa Janus yang memandang kedua arah berbeda. Tujuan akhir dari pencerahan kedua Ajaran ini memiliki perbedaan konsep. Pada Ajaran Veda kita mengenal istilah Moksa atau Penyatuan Kembali pada Sang Sumber atau Atman atau Atta yang menjadi tujuan akhir para penganut Ajaran Veda. Sedangkan Buddha dengan tegas menyatakan tentang Nibbana atau Nirvana sebagai tujuan akhir yang tanpa kondisi, karena menurut Buddha bahkan yang disebut Atman atau Atta itu pun bisa diurai sampai ke bagian terkecil hingga pembebasan total.
Gunung Meru, Pusat Alam Semesta
Meskipun keduanya berbeda di dalam konsep, Ajaran Buddha secara garis besar sejalan dengan Ajaran Veda dalam perihal Kosmologi. Misalnya Gunung Meru yang disebut pada Ajaran Veda merupakan Gunung Sineru di dalam penjelasan Buddha sebagai Pusat dari 1 Alam Semesta. Gunung ini besarnya bukan main hingga mencapai 84.000 Yojana keatas dan 84.000 Yojana ke bawah. Gunung sebesar ini harusnya mudah dilihat oleh mata kita kan? Tapi nyatanya tidak. Karena Alam Semesta bukanlah sekedar suatu benda materi kasar yang bisa dilihat oleh mata kita melainkan suatu ruang antar dimensi. Panca Indra kita hanya memahami benda-benda materi yang sifatnya kasar sedangkan ada banyak benda-benda materi halus yang hanya bisa diakses oleh Indra Keenam kita. Yap pada dasarnya kita semua memiliki Indra Keenam karena Indra Keenam sendiri merupakan Batin yang terletak di Landasan Jantung setiap makhluk di Alam Materi Kasar.
Rupes Nigra Benarkah Gunung Meru?
Kalau kita bersikeras mencari Gunung Meru dengan Peta Modern yang kita gunakan saat ini, kita hanya sedang menghabiskan energi kita menjadi sia-sia. Selain karena Gunung Meru hanya bisa dilihat melalui Pengetahuan Batin yang disebut Abhinna, bisa saja kalaupun terlihat kasat mata mungkin sudah dihilangkan peta online seperti yang terjadi pada Benteng Raksasa di Laut Papua.
Mungkin nanti kita akan membahas sejarah peta dan meninjau keakuratan peta modern yang kita gunakan saat ini. Tapi kembali sebelum tahun 1600-an, seorang ahli kartografi bernama Gerardus Mercator mencoba menggambarkan deskripsi Rupes Nigra berdasarkan tulisan perjalanan berjudul Inventio Fortunata. Menurut dugaan Mercator, Rupes Nigra berlokasi di sekitar Kutub Utara. Hal ini berdasarkan pada fakta bahwa semua jarum kompas sebenarnya menuju ke lokasi ini. Namun demikian Mercator sendiri tidak begitu yakin kalau Rupes Nigra benar-benar berlokasi di Kutub Utara. Ia menduga kalau mungkin saja yang dimaksud Utara sebenarnya dikarenakan semua jarum kompas mengarah ke Batu Hitam tersebut. Bukan berarti harus terletak di Kutub Utara.
Rupes Nigra yang di dalam bahasa Latin diartikan menjadi Batu Hitam merupakan sebuah Gunung yang dikenali dari catatan perjalanan kuno sebagai pusat dari magnet Bumi. Mercator membuat peta Rupes Nigra berdasarkan pada buku yang hilang yaitu Inventio Fortunata atau yang diterjemahkan sebagai Penemuan yang Beruntung atau Membuat Keberuntungan. Buku yang merupakan catatan yang ditulis oleh seorang Biarawan Fransiskan (Minorit) abad ke-14 dari Oxford saat melakukan perjalanan ke wilayah Atlantik Utara pada awal tahun 1360-an untuk melakukan bisnis atas nama Raja Inggris Edward III, berisi deskripsi Kutub Utara sebagai pulau Magnet atau Rupes Nigra yang dikelilingi oleh pusaran air raksasa dan 4 benua.
Jika memang buku Inventio Fortunata benar-benar menjelaskan deskripsi Gunung Hitam yang merupakan pusat magnet semesta maka mungkinkah ini adalah Gunung yang sama dijelaskan oleh Buddha Gotama sebagai Gunung Sineru dan juga menjadi catatan Veda mengenai Gunung Meru?
Komentar