Candi Borobudur, Candi Buddha Simbol Gunung Meru
Candi Borobudur, Candi Buddha Simbol Gunung Meru |
Semua orang tahu, Candi Borobudur adalah sebuah situs warisan leluhur Indonesia yang bercorak pada Ajaran Buddha. Tampak jelas dari berbagai stupa Buddha dan relief yang terukir di dinding candi. Namun, anehnya masih banyak orang berpendapat kalau Borobudur bukanlah Candi Buddha. Bahkan ada yang mengaitkan dengan Nabi Sulaiman! Dari banyak cocokologi yang menyebut kalau Candi Borobudur bukanlah warisan Ajaran Buddha, Si Tukang Mikir tertarik dengan sebuah video yang katanya dibuat berdasarkan hasil penelitian para arkeolog tanah air. Sayangnya para arkeolog tersebut mungkin tidak mengambil sumber lain sebagai bahan penelitian dan hanya mengkonstruksi pemikiran yang mereka anggap paling sesuai.
Selamat Datang di Pikiranologi, Bersama Saya si Tukang Mikir.
Kisah Gunavarman, Biksu Kashmir yang menjadi Penasehat Raja Jawa
Tidak ada jawabannya? Karena mungkin tidak melihat sejarah perjalanan Y.M Gunavarman.
Perjalanan Y.M. Gunavarman ke Jawa
Gunavarman (baca: Gunawarman) lahir pada 367 M di Kashmir dalam keluarga kerajaan. Menurut manuskrip dari Tiongkok yaitu Memoar Para Biksu Terkemuka (Tionghoa: 高僧傳; pinyin: Gāosēng Zhuàn) karya Hui Jiao dari Vihara Jiaxiang, Gunavarman berasal dari keluarga penguasa yang pernah memerintah Kashmir. Kakeknya, Haribhadra, digulingkan dari kekuasaannya dan diasingkan. Ayahnya, Sanghananda harus bersembunyi ke gunung dan lembah karena peristiwa tersebut sehingga tidak pernah menjadi penguasa. Dalam catatan biografi tersebut dijelaskan bahwa Gunavarman menunjukkan kecenderungan ke arah spiritualitas semenjak masih kanak-kanak, tetapi keluarganya tidak menganggap ini serius. Para Biksu di Kashmir-lah yang memperhatikan kecerdasan Gunavarman dan terkesan dengan sifatnya yang baik hati dan sederhana. Gunavarman memutuskan untuk meninggalkan rumahnya pada usia 20 tahun dan menjadi seorang Biksu.
Dalam makalah penelitian berjudul “Gunavarman (367-431): A Comparative Analysis of the Biographies found in the Chinese Tripitaka,” sarjana Buddhis dan Indologi Jerman, Valentina Stache-Rosen mengatakan bahwa Gunavarman memahami sembilan bagian Nikaya dan menguasai Agama. Beliau juga melafalkan lebih dari seratus kali, sepuluh ribu kata dari Sutra-Sutra. Dia memahami bab-bab tentang disiplin (Vinaya) dan sangat terampil dalam memasuki meditasi.
Sepuluh tahun setelah Gunavarman menjadi Biksu, saat raja Kashmir meninggal dunia tanpa meninggalkan pewarisnya, kemudian beliau diminta oleh beberapa menteri untuk melepaskan kehidupan sucinya dan menerima tahta Kashmir, tetapi Gunavarman menolak dan malah meninggalkan para guru dan komunitasnya untuk mengasingkan diri. Gunavarman akhirnya melakukan perjalanan ke selatan. Ketika tiba di Sri Lanka beberapa tahun kemudian, beliau menjadi terkenal dan para bhikkhu di Vihara Abhayagiri di dekat Anuradhapura berbicara tentang orang Kashmir yang tinggal di sana dan menjadi spesialis dalam Vinaya.
Gunavarman kemudian berlayar dari Sri Lanka ke Sumatera lalu menuju ke Tanah Jawa, di mana ia menjadi seorang penasihat dari Raja Jawa yang disebut dalam catatan Tiongkok sebagai Raja P’o to chia (Po tuo jia) atau Raja Vadhaka (Badhaka). Masih belum diketahui secara pasti kerajaan mana yang diperintah oleh Raja Vadhaka, namun diperkirakan ia adalah salah satu dari penguasa Kerajaan Tarumanegara (kemungkinan ayah dari Raja Purnawarman atau bahkan Raja Purnawarman itu sendiri).
Dalam bukunya yang berjudul Saints and Sages of Kashmir, sarjana dan penulis asal Kashmir, Triloki Nath Dhar menulis bahwa biksu Tiongkok Houei-Kouan dan Houie-Tsong mendekati Kaisar Wen yang memiliki nama asli Liu Yilong dari Dinasti Liu-Song dan menyarankan agar Y.M. Gunavarman diundang ke Kerajaan Song (Song Selatan) untuk menyebarkan Ajaran Buddha. Dalam sejarah Tiongkok dikenal sebagai masa Dinasti Utara dan Selatan yang juga sering disebut Periode 6 Dinasti. Periode ini merupakan masa peperangan yang sangat kacau di Tiongkok setelah runtuhnya Jin Timur dan masih berlangsungnya Periode 16 Kerajaan. Namun, di masa ini pula seni dan budaya berkembang serta Ajaran Buddha Mahayana mendapatkan popularitasnya.
Di Tiongkok Gunavarman diberi nama Ch’iu-na-pa-mo, yang berarti “zirah kebajikan”. Memoar Para Biksu Terkemuka karya Hui Jiao menunjukkan bahwa Gunavarman tiba di Tiongkok pada tahun 424 M. Beliau tinggal di negara itu selama tujuh tahun, di mana beliau menerjemahkan beberapa teks Buddhis ke bahasa Tionghoa. Catatan menunjukkan bahwa Gunavarman menerjemahkan setidaknya 10 teks Buddhis utama dalam 18 volume ketika beliau tinggal di Tiongkok. Teks-teks ini berkisar dari ajaran dasar hingga sutra penting. Beliau juga membantu menerjemahkan teks-teks yang tidak lengkap yang sampai ke Tiongkok melalui Jalur Sutra. Cendekiawan Kashmir lainnya, Dharmamitra, membantu Gunavarman menerjemahkan beberapa teks. Gunavarman mendirikan sebuah vihara di Gunung Houche di Fujian, yang menurutnya mirip dengan Gādhrakūta atau Puncak Hering, tempat peristirahatan favorit Buddha Gotama di Rajgir, Bihar.
Nama Asli Borobudur
Kenapa hanya menyoroti penamaan yang diberikan oleh Raffles sedangkan ada banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambhara Budhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di mana di lereng-lerengnya berbentuk teras-teras. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Dalam prasasti Karangtengah disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Pramodhawardhani yang merupakan Putri Mahkota Wangsa Syailendra yang juga istri dari Rakai Pikatan Wangsa Sanjaya. Tanah Sima itu berguna untuk memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra. Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Syailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan bodhisattva", adalah nama asli Borobudur.
Relief Borobudur
Sepertinya beberapa arkeolog Indonesia kebingungan sampai harus mencampur adukkan dan tidak bisa membedakan Ajaran Veda dan Ajaran Buddha. Relief Borobudur disimpulkan memiliki dua jenis yaitu Relief Dekoratif yang merupakan seni rupa murni dan Relief Naratif yang berisi narasi atau kisah-kisah berdasarkan Karmawibhangga, Jatakamala, Lalitavistara, Avadana, Gandavyuha, dan Bhadracari. Terlepas dari pengelompokannya, arkeolog menyimpulkan kalau Karmawibhangga itu bukan Ajaran Buddha tetapi memang Ajaran asli leluhur kita yang berasal dari Bangsa Arya. Duh, Arya sendiri bukanlah sebuah bangsa sebenarnya. Penyebutan Arya sebagai bangsa adalah hasil propaganda dari Nazi. Akar kata Arya dari bahasa Sansekerta atau Ariya dalam bahasa Pali adalah orang yang terhormat atau terpelajar, bisa juga merujuk ke orang suci. Jadi bukan dilabelkan ke sebuah bangsa tertentu melainkan sebutan kepada individu yang sudah menapaki spiritualitas atau yang dihormati di dalam sebuah komunitas.
Lalu soal Karmawibhangga yang katanya bukan dari text Ajaran Buddha melainkan penggambaran dari Tri Laksana Bhawanatraya (video menit 10.50 - 11.05), mungkin para arkeolog tidak belajar Kosmologi di dalam Ajaran Buddha dan Ajaran Veda. Di pembahasan Pikiranologi sebelumnya sudah dijelaskan kalau Ajaran Buddha dan Ajaran Veda ibarat satu koin dengan dua wajah. Walaupun tujuan akhirnya berbeda tetapi keduanya saling menopang di dalam pemahaman.
Tanpa Ajaran Veda yang berbasis pada Atman atau Atta, Ajaran Buddha yang menekankan pada konsep Anatta atau Anatman tidak akan mungkin bisa dipahami. Pemahaman soal Atman atau Atta ini di zaman Buddha dikenal sebagai Ajaran Brahmanisme atau Ajaran Veda awal yang berpedoman pada Trayi Veda atau 3 Veda. Ajaran ini kemudian berkembang menjadi banyak agama yang dijelaskan oleh Buddha di dalam Brahmajala Sutta, Digha Nikaya. Di Samannaphala Sutta, Digha Nikaya, Buddha juga menyebutkan ada 6 Ajaran lain diluar dari Ajaran Brahmanisme atau Veda dan Ajaran Buddha. Keenam Ajaran ini sering disebut Ajaran luar dan lahir karena konseptual dasar dari Ajaran Veda atau Atman itu sendiri.
Nah kembali ke tuduhan Karmawibhangga bukanlah diadopsi dari text Buddha, para arkeolog harus memahami kalau di dalam Kosmologi Buddha, Alam Semesta itu Spasial. Apa itu Kosmologi Spasial? Kosmologi yang melebar atau horizontal sekaligus bertingkat atau vertikal. Relief Borobudur tingkat paling bawah menceritakan soal Alam Indrawi Kasar atau Kamadhatu yang dihasilkan dari Kamavacara Citta atau Alam Kehidupan yang berdasarkan Pikiran yang melekat pada kesenangan indrawi yang dimana makhluk-makhluk di alam ini hidup dengan memelihara Lobha atau Keserakahan, Dosa atau Kebencian dan Moha atau Kebodohan Batin. Apa saja makhluk di Alam Indrawi Kasar? Yaitu 6 Alam Dewa, Alam Manusia yang terdiri dari 4 Benua, dan 4 Alam Menderita yaitu Neraka, Peta atau Hantu, Raksasa atau Asura dan Binatang. Ke-11 Alam ini merupakan Alam Indrawi Kasar.
Semakin tinggi tingkatan di Candi Borobudur, tidak ada lagi relief karena simbol dari pembebasan dari siklus samsara itu sendiri. Buddha menyebutnya sebagai Nibbana atau Nirvana. Tetapi Ajaran Veda mungkin menyebut tujuan akhir mereka sebagai Moksa yang artinya kembali kepada Sang Sumber atau Atman. Namun, dalam temuannya Buddha menjelaskan kalau bahkan yang disebut Atman atau Atta pun masih bisa dipreteli sampai ke bagian terakhir. Sehingga jika merujuk ke Abhidhamma, kemungkinannya yang disebut Moksa mungkin setara dengan Alam Arupha Jhana 4 atau Alam Tanpa Persepi dan Bukan Tanpa Persepsi menurut Ajaran Buddha.
Gunung Sineru dalam Kosmologi Buddha
Candi Borobudur adalah representasi sempurna dari Alam Semesta di dalam Kosmologi Buddhis. Stupa di tengahnya melambangkan Sang Raja Gunung yaitu di dalam Ajaran Veda disebut Gunung Meru atau Sineru di dalam Ajaran Buddha. Relief di dinding Candi merupakan representasi dari Alam Dimensi yang bertingkat dari teras paling rendah yaitu Alam Indrawi Kasar hingga yang tertinggi di plataran Stupa sendiri yang tidak memiliki relief apapun yang merupakan simbol dari pencerahan sempurna dan tidak terlahir lagi atau yang biasa disebut Nibbana atau Nirvana.
Borobudur memiliki 4 pintu yang mengarah ke empat penjuru angin yang dijaga oleh 4 Raja Dewa Catumaharajika atau Alam Dewa Tingkat Paling Rendah. Candi Borobudur bukanlah simbol dari Jam Matahari seperti dugaan banyak orang selama ini, melainkan simbol dari Alam Semesta dalam Kosmologi Spasial Ajaran Buddha. Berjalan secara Pradaksina atau berputar ke arah kanan seperti arah jarum jam merupakan cara lama yang dilakukan oleh penduduk Benua Jambudvipa untuk menghormati guru atau orang tua atau orang-orang terhormat lainnya. Hal ini kemudian teruskan dalam pengajaran Ajaran Buddha yang memang lahir di tanah India-Nepal. Kenapa Pradaksina dilakukan? Karena pemahaman Gunung Meru atau Gunung Sineru sebagai Pusat Alam Semesta dan Benua Manusia yang berada di tengah mengelilingi Gunung Sineru atau Gunung Meru ini. Semua benda langit termasuk matahari dan bulan mengelilingi Pusat Alam Semesta ini dari arah timur kembali ke timur lagi seperti halnya Pradaksina.
Jadi apakah Candi Borobudur adalah Candi Buddha? Suka tidak suka, faktanya mengarahkan demikian. Wangsa yang membangun Candi Borobudur adalah Syailendra. Seperti namanya Syailendra memiliki arti Raja Gunung. Jelas Raja Gunung yang dimaksud adalah Gunung Sineru atau Gunung Meru di dalam Kosmologi Spasial Ajaran Buddha dan Veda. Raja Gunung inilah yang kemudian menjadi inspirasi dibangunnya Candi Borobudur yang merupakan mahakarya simbol dari 31 Alam Kehidupan yang terbagi menjadi 3 Tingkatan Bhumi atau Tanah tempat makhluk berpijak.
***
Komentar