7 Hari, Rahu-Ketu dan Vedanga Jyotisha

Simbol 7 Planet Dalam Tubuh Kosmik

Adakah yang pernah bertanya kenapa ada 7 hari dalam kalender? Tahu enggak sih kalau 7 hari tersebut merupakan representasi dari 7 planet?


Kalender yang kita gunakan saat ini bernama Kalender Gregorian yang merupakan kalender revisi dari kalender Julian. Kenapa kita menggunakan kalender Gregorian? Ya tentu saja karena pengaruh invasi Romawi di seluruh dunia sampai detik ini masih sangat kuat. Semua hal di peradaban manusia saat ini merupakan warisan dari Romawi.


Lantas bagaimana orang menghitung hari sebelum era Romawi? Tentu ada banyak cara. Disetiap kebudayaan memiliki cara yang berbeda. Ada yang menggunakan Fase Bulan, ada yang menggunakan pergerakan Matahari dan Bulan, ada yang menggunakan benda-benda langit lainnya yang kita sebut sebagai planet di dalam satu keluarga semesta.


Bicara soal planet, penting untuk diketahui bahwa secara terminologi planet memiliki banyak arti dan secara sains modern baru disahkan pada tahun 2006 oleh Persatuan Astronomi Internasional (IAU) sebagai benda langit yang mengelilingi matahari dan memiliki gravitasinya sendiri. 


Meskipun faktanya dari banyak budaya kuno tidak pernah memasukkan Bumi sebagai planet melainkan pusat dari semesta dimana planet-planet berputar mengelilinginya. Sebelum Abad Pencerahan, semua budaya mengenal 7 planet atau benda langit yang berputar mengitari Bhumi atau Tanah Manusia yang secara berurutan yaitu Matahari, Bulan, Mars, Merkurius, Jupiter, Venus, dan Saturnus.


Dengan mengadopsi bahasa Germanic kuno dan Mitologi Norse atau Skandinavia, 7 planet tersebut menjadi nama hari yaitu Sunday atau hari untuk dewa matahari, Monday atau hari untuk dewa bulan, Tuesday hari untuk dewa Tyr atau dewa perang Mars, Wednesday hari untuk dewa Odin, Thursday hari untuk dewa Thor atau Jupiter, Friday hari untuk dewi Freya atau dewi Venus, Saturday merupakan hari terakhir representasi dari dewa kematian yaitu Saturn atau Kronos.


Di hari Sabtu juga dikenal sebagai Hari Shabbat atau hari terakhir dari kalender kuno. Yang kemudian akan diawali lagi oleh kedatangan Matahari sebagai juru selamat dari kematian. Maka itu di berbagai budaya kuno selalu memulai hari pada hari Minggu dan berakhir di hari Sabtu yang sebenarnya representasi dari kondisi manusia sendiri dan 7 cakra yang dimilikinya. Bahwa kelahiran dan kematian merupakan sebuah siklus yang tidak bisa dihindarkan selama makhluk hidup di dalam samsara atau siklus berulang kelahiran-kematian.


Ironisnya pengetahuan mengenai Astronomi dan Astrologi ini kemudian berubah menjadi klenik dan dianggap sesat dengan menyebut bahwa para penganut paganisme adalah penyembah berhala. Kita sendiri juga enggak sadar bahwa pada dasarnya kitapun penyembah berhala. Kita mengadopsi kalender kuno tanpa tahu darimana mereka berasal, kita menyebut bahwa era kita saat ini berada di puncak peradaban manusia. Yang padahal jelas-jelas kita banyak mengadopsi budaya kuno pagan dan kita anggap ini adalah kemajuan dan puncak peradaban! haha


Selain 7 planet tersebut, Vedanga Jyotisha atau text kuno Astronomi dan Astrologi Veda menyebutkan kalau bayangan Bulan yaitu Rahu dan Ketu adalah penyebab terjadinya Gerhana dan Fase Bulan. Ini mungkin yang terus dipertanyakan oleh para Tukang Mikir, jika Bumi bukanlah planet melainkan pusat semesta, bagaimana proses terjadinya Gerhana? Sekarang tukang mikir sadar gak kalau Fase Bulan itu selalu terjadi sama setiap bulannya yaitu berlangsung 7 atau 8 hari dalam satu fase ke fase yang berikutnya? Semua ini dikarenakan adanya bayangan gelap Bulan yaitu Rahu dan bayangan terang Bulan yaitu Ketu.


Lalu bagaimana ini bisa dijelaskan secara ilmiah? Kalau tukang mikir sudah memahami video-video Pikiranologi pasti paham betul bahwa dunia materi yang kita kenal ini bukan hanya dunia fisik 3 dimensi melainkan interdimensional. Jadi bagaimana kita memaksakan hal yang interdimensional untuk dipahami ke dalam ruang 3 dimensi?


Tentu tidak bisa! Point of view atau persepsi makhluk-makhluk yang berbeda dalam setiap dimensi yang menyebabkan kita tidak akan mungkin pernah bisa menerjemahkan semua fenomena yang kita lihat dengan mata indria karena ada banyak fenomena yang tentunya berhubungan dengan dimensi lain. Seperti halnya Rahu dan Ketu yang bukanlah berupa planet dalam fisik 3 dimensi melainkan berkaitan dengan dimensi lain.


Lantas bagaimana kita memahami dan mengetahui kalau Rahu dan Ketu penyebab terjadinya Gerhana dan kita bisa mengetahui alasan Fase Bulan selalu tetap sejak kemunculan Bulan dalam keluarga semesta? Ya hanya dengan 1 cara dan cara itu bukanlah melalui laboratorium saintis modern melainkan melalui laboratorium kuno bernama meditasi.


Pernah mendengar istilah Macrocosmos dan Microcosmos atau As Above So Below? Kalau pernah berarti tukang mikir tahu betul bahwa Alam Semesta Raya kita yang maha luas ini pada dasarnya adalah projeksi dari batin makhluk-makhluk secara kolektif. Jadi untuk mengenal alam semesta beserta isinya bukan dengan roket berbentuk wortel melainkan dengan memasuki misteri kedalaman batin dari diri tukang mikir.


-Pikiranologi-

Komentar

Postingan Populer