Kosmologi Buddha dan Kosmologi Veda Hanyalah Mitologi?
Dewa Siwa dan Buddha Gotama |
Dalam materi Terra Infinita banyak orang gagal paham tentang inti dari pembahasan tersebut. Beberapa poin tuduhan mereka secara garis besar akan saya bahas di dalam pembahasan kali ini.
Tuduhan Pertama : Terra Infinita Adalah Cerita Fiksi!
Memang siapa yang bilang itu kisah fakta? Kalau mencermati isi video tersebut para tukang mikir seharusnya memahami bahwa saya tidak pernah menyebut Peta Terra Infinita itu fakta atau benar 100%. Saya hanya mengatakan bahwa peta tersebut adalah pendekatan terbaik secara visual mengenai Alam Semesta di dalam Kosmologi Buddha dan Veda. Jika di awal video saya mengatakan “Terra Infinita Benar” itu hanyalah bertujuan agar semua tukang mikir mau menonton penjelasan video itu sampai habis kemudian merenung. Lalu kalau saya di awal video mengatakan “Bumi itu bukan planet tapi Alam Semesta” jawabannya ada di video berikutnya yaitu tentang Bumi Interdimensional. Saya harap para tukang mikir menonton video tersebut agar mengerti bahwa Pikiranologi tidak pernah memusingkan bentuk bumi. Karena bukan bentuk bumi yang penting melainkan esensi dari pengetahuan yang saya bagikan.
Tuduhan Kedua : Jangan Gunakan Peta Fiksi ke Dalam Metode Ilmiah!
Sekarang kita harus pahami dulu apa yang disebut metode ilmiah. Secara garis besar metode ilmiah adalah sebuah metode atau cara yang disepakati oleh ilmuwan modern saat ini untuk mengambil pendekatan mengenai substansi objek yang diamati. Metode ilmiah yang kita gunakan saat ini merupakan warisan dari proses panjang sejak revolusi ilmiah. Ada standar-standar tertentu yang digunakan hingga akhirnya memisahkan antara spiritualitas dan sains. Semua hal yang bisa dilihat oleh mata dan indria kita dimasukkan ke dalam ranah sains, sedangkan semua hal yang sifatnya spiritual dan tidak terjelaskan oleh indria kita masuk ke dalam ranah Agama. Kalau kita amati para filsuf dan ilmuwan di masa sebelum Revolusi Ilmiah, mereka adalah ahli Sains dan juga Spiritual. Karena mereka paham bahwa Sains dan Spiritual tidak bisa dipisahkan. Akibat negatif dari pemisahan Sains dan Spiritual adalah keterbatasan pengetahuan manusia dan itu kita rasakan sekarang. Sebagai contoh sederhana adalah kita tidak lagi mampu menciptakan bangunan seperti Candi atau Piramida yang bermuatan Sains dan Spiritual. Sampai detik ini kita hanya sibuk terheran-heran bagaimana nenek moyang kita membangun ini semua? Kebingungan ilmu modern saat ini karena pemisahan sains dan spiritual.
Tuduhan Ketiga : Jangan Gunakan Mitologi Agama Buddha ke Dalam Sains!
Sains akar katanya dari bahasa latin yaitu Scientia artinya Pengetahuan. Semua hal di dunia ini adalah pengetahuan. Termasuk yang disebut Mitologi. Mitologi merupakan ilmu yang mempelajari kisah-kisah yang diwariskan secara verbal di dalam sebuah masyarakat. Kisah-kisah ini biasanya bersifat spiritual karena ada unsur makhluk-mahkluk selain manusia seperti dewa dewi dan yang kita sebut sebagai makhluk ghaib. (Sebenarnya kalau paham Bumi Interdimensional mereka bukanlah makhluk ghaib.) Nah ada Pengetahuan, ada Ilmu Pengetahuan. Tahu bedanya? Ilmu Pengetahuan adalah Pengetahuan yang dikonstruk ke dalam standart keilmuan saat ini yang pastinya menggunakan sains modern. Apakah jadi artinya hal-hal yang bersifat Mitos tidak bisa menjadi Ilmu Pengetahuan? Tentu saja bisa. Makanya ada banyak jurusan Mitologi di universitas ternama sebut saja Harvard. Kalau memang Mitologi Agama tidak bisa dimasukkan ke dalam ranah sains, kenapa ada jurusan Teologi? Teologi adalah ilmu yang berusaha menerjemahkan kisah mitologi agama ke dalam metode sains modern. Kalau begitu apakah hanya kisah-kisah dalam agama samawi saja yang dianggap bukan sebuah mitologi? Sedangkan kisah selain agama samawi yaitu agama Buddha dan Hindu misalnya hanyalah sebuah mitologi? Tuduhan ini jelas pengkerdilan sains.
Kesimpulannya
Jangan pernah mengkerdilkan sains. Mencoba mengkotak-kotakan sains sama artinya kalian berusaha untuk membuat sains menjadi berhala. Seorang scientist sejati adalah mereka yang menyerap segala informasi seperti layaknya spons kemudian informasi ini dicerna hingga membangun kerangka berpikir yang baru demi mengungkap sebuah kebenaran. Tapi apakah kebenaran semudah itu didapat? Tentu tidak. Kita harus terus menerus mencari tahu tanpa pernah mencoba menghakimi mana yang benar dan salah. Karena benar dan kebenaran itu dua hal yang berbeda. Benar adalah sebuah perspektif dan kebenaran bukan milik siapapun juga karena kebenaran selalu apa adanya.
-Pikiranologi-
Komentar